Operasi
Trikora (Tri
Komando Rakyat) adalah konflik 2 tahun yang
dilancarkan Indonesia untuk
menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19
Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di
Alun-alun UtaraYogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando
Mandala. Mayor
Jenderal Soeharto diangkat
sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi
militer untuk menggabungkan Papua
bagian barat dengan Indonesia.
Latar belakang
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim
seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua.
Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah
satu provinsiKerajaan
Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara
merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan
Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun
setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian
barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.
Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda
mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa
kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di
Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah
sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara
Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia
membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang
berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada
tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York
Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah
Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,Freeport
Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun
tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Persiapan
Militer
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri
menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba
meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960,
Jendral A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet,
dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah
Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka
panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara
terkuat di belahan bumi selatan. [1] Amerika
Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke
Indonesia karena Bureau of
European Affairs di Washington,
DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan oleh
kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada bulan
April 1961,
Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi
kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu,
presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini
karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran
bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet
bila tidak mendapat dukungan AS.
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jetMiG-15, 49
pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat
pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang
diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian).
Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin
Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16,
dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air
to surface jenis AS-1 Kennel.
Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan
jenis IL-14 dan AQvia-14, 6
pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B
buatan Uni Soviet dan
10 pesawat angkut berat jenis C-130
Herculesbuatan Amerika Serikat.[1]
Diplomasi
Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman,
dan Perancis agar
mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia
dan Belanda. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen
PBB U Thantmeminta Ellsworth
Bunker, diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul tentang
penyelesaian masalah status Papua bagian barat. Bunker mengusulkan agar Belanda
menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu
2 tahun.
Ekonomi
Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan
UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua
perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi
seperti:
1.
Perusahaan Perkebunan
2.
Netherlansche Handels Mattscapij
3.
Perusahaan Listrik
4.
Perusahaan Perminyakan
5.
Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM
Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:
1.
Memindahkan pasar pelelangan tembakau Indonesia
ke Bremen (Jerman Barat)
2.
Aksi mogok buruh perusahaan Belanda
di Indonesia
3.
Melarang KLM (maskapai
penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
4.
Melarang pemutaran film-film berbahasa
Belanda
Konfrontasi
Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan
Instruksi Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada
Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut:
·
Merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian
Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.
·
Mengembangkan situasi di Provinsi
Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan
daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik
Indonesia.
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna
melaksanakan instruksi tersebut.
·
Tahap Infiltrasi (penyusupan)
(sampai akhir 1962),yaitu
dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk
menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh
musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian
Barat.
·
Tahap Eksploitasi (awal 1963),yaitu mengadakan
serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos
pertahanan musuh yang penting.
·
Tahap Konsolidasi (awal 1964),yaitu dengan
menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara
mutlak di seluruh Irian Barat.
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi,
selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18
Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan
tembak-menembak.
Konflik bersenjata
Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto
sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua
bagian barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan kapal indukHr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian
barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang
punggung pertahanan di perairan Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur
pertahanan Papua Barat terdiri dari:
·
Koninklijke
Marine (Angkatan Laut Kerajaan
Belanda)
·
Korps Mariniers
·
Marine
Luchtvaartdienst[2]
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan
militer Belanda terus bertambah dengan kesatuan dari Koninklijke
Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine Luchtvaartdienst.
Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan
Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri Oranje Gelderland yang
terdiri dari 3 batalyon yang
ditempatkan di Sorong, Fakfak, Merauke, Kaimana,
dan Teminabuan.[2]
Operasi-operasi
Indonesia
Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan
sukarelawan ke Papua bagian barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun
misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam
operasi bangunan.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora
sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun
begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan
penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan
Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian
barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2
pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh
TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa
petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi
ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan
dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.
Kepolisian Republik Indonesia juga
menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa
resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di
kepulauan Ambonsebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian
barat. Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin
Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom.
Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui laut
dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua
bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik
Belanda.
Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil
didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun, pada
tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain
melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah
operasi menjadi gagal.[3]
Pertempuran
laut Aru
Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962,
ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan
Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso,
dan KRI Harimau yang
dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli
pada posisi 4°49' LS dan
135°02' BT.
Menjelang pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan
lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda
itu tidak bergerak, dimana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI
melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang
mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung
pada parasut.[3]
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di
dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan
balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan
untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus
membelok ke kanan.[3] Kapal
Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal
itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada
pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan
semangat pertempuran".
Operasi
penerjunan penerbang Indonesia
Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto
melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar
Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan
tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun operasi ini hanya
mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari.
Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut
ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya,
penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.[1]
Pada tanggal 19 Mei 1962,
sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon,
dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk
melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan
menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu
juga disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik
kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum
masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03:30 WIT, pesawat Hercules yang
dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.
Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan
81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera meninggalkan daerah
Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak
untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik
Belanda.[1]
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[4] Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[4] Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
Akhir dari konflik
Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil
keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding
dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada
tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang
awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung
penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.[5][6]
Persetujuan
New York
Pada tanggal 15 Agustus 1962,
perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York.
Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio,
dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari
Persetujuan New York adalah:
·
Belanda akan menyerahkan
pemerintahan Papua bagian barat kepada United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA),
yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan
pemerintahan kepada Indonesia.
·
Bendera PBB akan dikibarkan selama
masa peralihan.
·
Pengibaran bendera Indonesia dan
Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan
masing-masing pemerintah.
·
UNTEA akan membantu polisi Papua
dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen
PBB dalam masa peralihan.
·
Indonesia, dengan bantuan PBB, akan
memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil
keputusan secara bebas melalui
1.
musyawarah dengan perwakilan
penduduk Papua bagian barat
2.
penetapan tanggal penentuan pendapat
3.
perumusan pertanyaan dalam penentuan
pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk
·
tetap bergabung dengan Indonesia;
atau
·
memisahkan diri dari Indonesia
4.
hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan,
untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan
standar internasional
·
Penentuan pendapat akan diadakan
sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan
pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru,
dan pada 5 September 1963, Papua bagian barat
dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia
membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua.
Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965. Untuk meredam
gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan
pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000
orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara
dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Penentuan
Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi
Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum
Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan
mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih
penggabungan dengan Indonesia.[7][8]
Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.[9] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.
Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.[9] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.
Setelah
penggabungan
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia
sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:
1.
Papua bagian barat telah menjadi
daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih
dipegang oleh Belanda
2.
Belanda berjanji menyerahkan Papua
bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
3.
penggabungan Papua bagian barat
dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai
Belanda
4.
penggabungan Papua bagian barat
dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.
Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah
nasional.[1][2]
Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Pada tahun 1980-an,
Indonesia memulai gerakan transmigrasi,
di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan
ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini
mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara
memasukkan pengaruh pemerintah pusat.[10][11][12] Pada
tahun 2000,
presidenAbdurrahman Wahid memberi otonomi khusus
kepada provinsi Papua untuk
meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi
provinsi: Papua dan Irian Jaya
Barat (sekarangPapua Barat)
melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada
tahun 2001.
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Komennya, Ya ..??