Kamis, 25 September 2014

Berorientasi Tindakan

Konon, orang Jerman apabila membuat tulisan, selalu panjang-panjang. Tentang gajah, contohnya, orang Jerman butuh 1000 lembar untuk menuliskannya. Tetapi konon pula, orang Amerika apabila membuat tulisan itu pendek-pendek. Sampai tentang gajah pun, mereka hanya butuh 10 halaman saja. Lalu kenapa orang Amerika banyak men- guasai dunia di berbagai hal? Katanya lagi, mereka nulis hanya perlu memper- tanyakan, “how to use,” atau bagaimana menggunakan. Jadi, untuk gajah pun, mereka hanya perlu menanyakan “bagaimana cara menggunakan gajah.” Begitulah, ternyata, pemikiran yang berorientasi tindakan, kemudian disusul dengan tindakan nyata, akan lebih berguna daripada hanya bergelut di bidang pemikiran, tanpa orientasi tindakan. Tetapi orang Jerman itu masih mending, bisa menuliskan ilmu sehingga menjadi stock of knowledge yang kita bisa rujuk ketika kita perlu. Yang parah adalah orang yang hanya bisa ngomong saja, tanpa kegiatan yang berguna. Orang manakah itu? Penyakit Banyak Omong Orang Indonesia, dikatakan, adalah orang yang selalu banyak omong, tidak banyak berbuat. Sehingga, apabila ada lalat masuk ke minuman kita, kita harus rapat dulu, harus dibagaimanakan ini. Orang lain mungkin hanya buang saja semuanya, lalu ganti minuman. Atau dibuang saja lalatnya, terus airnya diminum. Tetapi orang kita harus banyak omong dulu, dan belum tentu diikuti dengan tindakan. Cerita tentang orang Indonesia ini bukan mengada-ada. Banyak sudah kita melihat bahwa kita adalah bangsa yang lebih banyak omong daripada bertindak. Kita lihat saja kehidupan sehari-hari. Jika anak-anak Indonesia mau pergi ke suatu tempat, mereka akan rapat dulu dan terjadi perban- tahan yang cukup lama. Tetapi jika kita lihat anak-anak Malaysia, apabila hendak pergi. Hanya salah satu dari mereka mengajak pergi, anak-anak lain langsung saja ikut, tanpa percekcokan terlebih dahulu. Barangkali kita punya karakter demokratis, sehingga segala sesuatu “harus dibicarakan.” Tetapi demokrasi memang selalu menuntut banyak omong yang tidak perlu. Kita sudah melupakan azas “musyawarah untuk mufakat.” Kita perlu berdebat, walau- pun ketika sudah berdebat, ditanyakan kepada diri kita, apa memang perlu omong-omong demikian? Kita katakan, ya…kan kita perlu eksis, perlu menam- pakkan bahwa kita itu ada, pandai, dan sebagainya. Lalu keputusannya? Ya, pasti itu-itu saja. Orang yang bekerja? Itu-itu saja, dan begitu-begitu saja. Walhasil, demokrasi kita tidak memberi apa-apa kemajuan dan kebaikan pada diri kita, kecuali sebagai panggung tampil-menampil. Dan setiap orang adalah “harimau.” Bukan, bukan bahwa setiap kita adalah orang yang hebat-hebat, tetapi bahwa setiap kita adalah orang yang “banyak omong.” Kan ada pepatah, “mulut kamu hari mau kamu, mengerkah kepala kamu.” Jadi karena kita banyak omong, omon-gan kita itu ibarat harimau, yang akan mengerkah kepala kita sendiri. Tidak percaya? Coba kita telisik, betapa banyak kata-kata kita yang menyerang kita sendiri. “Kita bukannya ngomongin orang ya, sebenarnya…,” setelah itu kita ngomongin orang. “Bukannya ngegosip ya, tetapi…,” kemudian bikin gosip. Lalu, kita sering ngomong bahwa orang lain salah, jelek, dan sebagainya. Tetapi kita juga salah, jelek, dan sebagainya. Kita juga sering sekarang bicara A, besok bicara B dalam masalah yang sama.
Tetapi peribahasa di atas lebih ngeri daripada itu. Konteks peribahasa itu menunjukkan bahwa kita bisa kehilangan kepala kita alias mati apabila kita bicara sembarangan. Ini memang titik terekstrem dari kebiasaan terlalu banyak bicara, sehingga terlebih-lebih kata. Cuma bicara saja atau omong doang (omdo) memang jelek. Tidak akan ada apa-apa setelah bicara. Tetapi, bukan hanya itu. Kita harus terus terang katakan bahwa lebih banyak bicara daripada kerja itu juga buruk. Karena bahwa kerja kita itu terhalang oleh bicara. Sekarang, kita lihat, bangsa mana di dunia ini yang banyak omong, terus sukses. Tidak ada kan? Orang Jepang, pendiam. Orang Inggeris, kurang bicara. Tetapi mereka adalah para penemu dan orang-orang yang efisien. Tidak heran jika mereka menguasai dunia. Yang banyak omong, katanya, adalah bangsa-bangsa yang kurang sukses. Ko-non di Barat, apabila masuk kereta api, kemudian ada orang-orang saling bi- cara, sehingga cukup riuh. Orang yang masuk itu akan bergumam, “Spanish,” orang Spanyol. Majukah Spanyol? Tidak, dibanding negara-negara Eropa Barat lainnya.
Lalu, kita akan meniru siapa?
Sebetulnya kita tidak perlu meniru siapa-siapa. Kita sendiri sudah tahu. Peribahasa di atas mengajarkan kepada kita untuk jangan banyak omong, karena omongan kita itu bisa mencelakakan kita sendiri. Gara-gara saling menghina, kita bisa saling bunuh. Gara-gara kebohongan kita, nyawa kita bisa terancam. Sudah sadarkah bahwa nyawa kita itu tidak berharga pada hari-hari ini? Ini tentu berkaitan dengan cara dan isi kita bicara. Kita ngomong siap membayar kartu kredit bulanan, padahal kita tidak bisa. Lalu bagaimana? Debt collector datang, menyumpah serapah kita, bahkan mengancam nyawa kita. Setiap hari kita dikabarkan adanya tawuran antar pelajar, antar kampung, bahkan antar mahasiswa, antar anggota Dewan. Apa sebetulnya yang terjadi? Apa yang perlu diperjuangkan, sehingga harus mengorbankan nyawa kita? Apa nilai yang kita agungkan sehingga kita harus stress dan saling mencakar, setiap hari? Apakah kebenaran, keadilan, kejujuran, atau hanya uang, uang, dan uang? Lalu untuk apa uang itu? Untuk hidup dan kehormatan? Kalau tujuannya memang hidup dan kehormatan, haruskah kita wujudkan dengan hanya “uang” semata? Di sini kita harus kembali berpikir, tentang apakah kita, siapa kita, apa tujuan hidup kita, apa kerjaan kita sehari-hari, bagaimana cara kita menempuh cita-cita kita, efisiensi cara kerja kita. Dan sebagainya.
Tentang Tindakan Berpikir Praktis
Untuk mendorong kita untuk berorientasi tindakan (action oriented), kita nampaknya harus bersikap praktis, bahkan ketika kita berpikir. Inilah yang disebut dengan berpikir praktis (practical reason). Berpikir praktis adalah penggunaan nalar dalam rangka memutuskan bagaimana cara bertindak. Ini berbeda dengan berpikir teoretis (atau sering disebut berpikir spekulatif), yang menggunakan penalaran untuk memutuskan apa yang harus dipercaya saja. Berpikir praktis ini dikenal sebagai cara untuk menentukan rencana tindakan (plan of action). Untuk hal ini, St. Thomas Aquinas, filosof Abad Pertengahan, menyatakan bahwa prinsip pertama berpikir praktis adalah “melakukan yang baik dan menghindari yang buruk” (good is to be done and evil avoided). Kaum utilitarianis, sementara itu, cenderung melihat akal sebagai instrumen untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan. Dalam kerangka berpikir klasik, ada tiga jenis aktivitas berpikir manusia:
  1. berpikir teoretis (theoretical rea- son), yang menyelidiki kebenaran;
  2. berpikir praktis (practical reason), yang menentukan tentang penting atau berharganya jalan tindakan yang akan diambil; dan
  3. berpikir produktif atau teknis (productive/technical reason), yang berupaya untuk menemukan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan (3)www.wikipedia.com).
Pendidikan Praktis Banyak hal yang dipikirkan di dunia ide. Dan itupun menolong untuk memberi garis dalam hidup kita. Namun, bersikap praktis memang hal yang pal- ing selamat untuk hidup di dunia ini. Lalu, bagaimana cara kita menanamkan sikap praktis pada diri kita, pada anak kita, pada orang lain? Berorientasi tindakan berarti kita lebih memilih untuk berbuat daripada hanya mengkhayal atau menghapal petunjuk-petunjuk yang didesakkan ke dalam jiwa kita. Bukan ide-ide yang ada di kepala kita, dan bukan perkataan yang diucapkan oleh mulut kita, yang menentukan kenyataan. Yang menentukan adalah perbuatan-perbuatan kita.
Menjadi orang praktis juga adalah hasil latihan. Jika kita melatih pikiran kita, ide-ide pun akan berkembang, dan bermunculanlah kemungkinan-kemungkinan bagi kita. Demikian pula halnya dengan orientasi kita untuk bertindak, diperlukan latihan supaya bisa menjadi kreatif dan produktif. Kehidupan sehari-hari memberi kita kesempatan untuk melatih diri kita agar selalu berorientasi praktek. Setiap hari kita tidak bisa lari dari kehidupan. Maka, kita harus melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang kecil maupun yang besar. Kita jangan terganggu oleh kepentingan diri sendiri yang sering memunculkan rasa enggan, jengkel, benci, permusuhan, dan perasaan-perasaan negatif lain terhadap tugas, kewajiban, pekerjaan, dan orang-orang di sekeliling kita. Kita harus melakukan segala perbuatan baik itu dengan sungguh-sungguh dan dengan niat yang sekuat-kuatnya, karena setiap perbaikan dari karakter kita akan membawa kita lebih dekat dengan kehidupan yang sukses. Kita harus selalu ingat bahwa hasil pengetahuan kita dan kecakapan-kecakapan kita terutama sekali tergantung kepada karakter kita. Dalam segala bidang dan segala segi kehidupan kita, kita harus melakukannya dengan pikiran dan gagasan kita yang praktis. Kita pun harus meng- hindari dari melakukan apa yang kita anggap tidak baik menurut nurani kita. Di sinilah kita akan menjadi manusia yang utuh. Akhirnya, harus kembali ditekankan bahwa kita adalah manusia, yang beras- al dari Tuhan, untuk hidup bermakna, dan akan kembali kepada Tuhan. Jadi, tidak akan banyak perdebatan di situ. Yang ada hanya kita harus menjalani hidup kita ini dengan banyak berbuat yang baik dan benar. Dalam agama, hal ini disebut beramal, yaitu beramal saleh. Dalam kehidupan dunia, hal ini disebut profesionalisme, berbuat sesuai kedirian kita. Jadilah kita manusia praktis, yaitu manusia yang berbuat dan bertindak, seperti orang Amerika yang menulis tentang gajah tadi.

Sumber : http://www.psmp.web.id/berita/96-berorientasi-tindakan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Komennya, Ya ..??