Selasa, 16 September 2014

KEBUDAYAAN PROVINSI ACEH

Sekilas Budaya Provinsi Aceh 
Budaya dan Agama 

Budaya

Provinsi Aceh memiliki budaya yang relatif tinggi. Kebudayaan ini pada dasarnya diwarnai ajaran Agama Islam, namun demikian pengaruh Agama Hindu yang telah berurat berakar sebelum masuknya Islam masih tetap berpengaruh. Hal ini terlihat baik dalam adat istiadat, kesenian maupun kehidupan sehari-hari. Kesenian tradisional Aceh mempunyai identitas yang religius, komunal, demokratik dan heroik. Kesusastraan Aceh ada dalam bahasa Aceh dan Melayu (jawi) sementara bahasa Arab baik kata maupun ibaratnya banyak sekali mempengaruhi Kesusastraaan Aceh.


Pakaian sehari-hari di Aceh sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Kalalu wanita diwajibkan menutup aurat: dibawah kaki hingga tumit, lengan badan dan rambut. Di zaman dahulu, kaum wanita biasanya memakai celana panjang, akan tetapi oleh karena pergantian masa keadaan ini telah berubah. Dewasa ini, orang Aceh lebih suka memakai kain sarung dan blus batik, namun masih dalam keadaan tertutup aurat. Pakaian-pakaian ala barat umumnya dipakai oleh para muda mudi, khususnya, anak-anaknya sekolah, mahasiswa dan orang-orang kantor. Bahkan hampir semua pakaian dalam batas kesopanan dan pakaian setengah telanjang tidak pernah terlihat meskipun di tepi pantai. Wisatawan jelas akan menjaga norma-norma di daerah ini. Pada saat bulan Ramadhan dan hari Jum'at akan nampak tanda-tanda Keislaman yang kuat. Selama bulan Ramadhan semua orang dewasa diharuskan berpuasa, tetapi tanpa menghambat aktivitas sehari-hari. Dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari, masyarakat menahan diri dari makan, minum dan merokok. Bagi non muslim yang ingin mencari makanan biasanya dapat dijumpai tempat-tempat tertentu yang diizinkan menjualnya, tanpa menganggu orang-orang yang berpuasa. Namun, restoran-restoran biasanya ditutup pada siang hari selama bulan puasa. Pada hari Jum'at, kaum pria maupun anak-anak pergi ke mesjid guna melaksanakan shalat karena hari tersebut merupakan hari paling mulia. Kantor-kantor dan pertokoan ditutup selama shalat Jum'at dilaksanakan.
Tata krama kehidupan masyrakat merupakan hal yang sangat penting, orang asing atau orang pendatang masuk ke suatu kampong, misalnya harus mematuhi peraturan tersebut paling tidak kepala kampong tahu atas kehadiran mereka. Lebih baik lagi, dia dapat memperkenalkan dirinya dan saling berkenalan dengan yang lain. Apabila dua orang bertemu, mereka saling menyapa dengan mengucapkan "Assalaamu'alaikum", dengan jawaban "Walaikum Salam". Orang pertama memberikan salam kepada yang lain biasanya berjabat tangan. Salam yang sama saling mengucapkan antara orang pidato dengan pendengar di forum-forum formal. Memberi atau menerima sesuatu dari orang lain selalu dilakukan dengan tangan kanan.

Agama

Penduduk yang mendiami wilayah Provinsi Aceh keturunan dari bebagai suku bangsa dan etnis. Di samping itu terdapat pula berbagai tipe antara lain seperti Arab, Cina, Eropa, India. Sedangkan penduduk asli suku Aceh diperkirakan keturunan Melayu tua yang berasal dari Champa, kocincina dan Kamboja. Karena kedatangan Melayu muda dengan tingkat kebudayaan yang dapat dikatakan sudah tinggi pada waktu itu menyebabkan penduduk asli menyingkir pindah ke pedalaman. Orang-orang ini sekarang dikenal sebagai orang Gayo Aceh Tengah, dan alas di Aceh Tenggara.

Dari beberapa pertunjuk kegiatan Pelayaran di lautan memperlihatkan bahwa orang Aceh telah lama melakukan kontak internasional dengan dunia luar terutama sekali dengan Raja Cina yang berlangsung lama. Beberapa hadiah dari Raja masih ditemui di Aceh sekarang. Penduduk Aceh asli seluruhnya menganut agama Islam. Pemeluk agama lain seperti, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan lain-lain hanya pendatang dari daerah lain atau Cina turunan dan orang asing. Secara keseluruhan jumlah yang menganut agama lain tidak lebih dari 4% dari jumlah penduduk. Sebagai pemeluk agama Islam masyarakat Aceh menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari bahkan adat istiadat pun banyak bersumber dari Islam. Oleh sebab itu Aceh dikenal dengan julukan �Serambi Mekkah� Pemberian nama ini berkaitan dengan masuknya Agama Islam pertama ke Indonesia dari Mekah melalui Aceh. Kerajaan Islam pertama di nusantara terdapat di Aceh dan umat islam dari daerah-daerah lain yang ingin menunaikan ibadah haji ke Mekah melalui Aceh. Aceh menjadi tempat singgahan/transit waktu pergi dan pulang menunaikan ibadah haji.

Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Aceh biasanya berbicara bahasa Aceh dan Indonesia meskipun di Ibu Kota, selain bahasa Aceh dan Indonesia ada beberapa dialek yang berbeda dalam penggunaan bahasa, di wilayah barat dan selatan dialek seperti Minang sedangkan dikuala simpang di daerah Melayu. Di Aceh Tengah berbahasa Gayo sementara di Aceh Tenggara orang berdialek Alas. Di beberapa tempat lain ditemui bahasa/dialek setempat.

Pakaian Adat Provinsi Aceh 

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau yang lebih dikenal dengan Serambi Mekah mempunyai kekayaan budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Provinsi yang pusat pemerintahannya berada di Banda Aceh ini telah melahirkan beberapa Pahlawan Nasional yang jasa dan namanya masih terus dikenang hingga saat ini, seperti : Cut Nyak Dhien, Cik Ditiro, Cut Nyak Meutia, dll. Pakaian sehari-hari di Aceh sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Kalalu wanita diwajibkan menutup aurat: dibawah kaki hingga tumit, lengan badan dan rambut. Di zaman dahulu, kaum wanita biasanya memakai celana panjang, akan tetapi oleh karena pergantian masa keadaan ini telah berubah. Dewasa ini, orang Aceh lebih suka memakai kain sarung dan blus batik, namun masih dalam keadaan tertutup aurat. Pakaian-pakaian ala barat umumnya dipakai oleh para muda mudi, khususnya, anak-anaknya sekolah, mahasiswa dan orang-orang kantor. Bahkan hampir semua pakaian dalam batas kesopanan dan pakaian setengah telanjang tidak pernah terlihat meskipun di tepi pantai. Wisatawan jelas akan menjaga norma-norma di daerah ini.
Penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan Provisni Nanggroe Aceh Darussalam ini termasuk baju adat daerahnya. Berikut ini akan dijelaskan Baju adat daerah Aceh

BAJU ADAT TRADISIONAL PRIA ACEH :
  • Pria memakai BAJE MEUKASAH atau baju jas leher tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.
  • Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut CEKAK MUSANG.
  • Kain sarung (IJA LAMGUGAP) dilipat di pinggang berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket.
  • Sebilah rencong atau SIWAH berkepala emas / perak dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.
  • Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut MAKUTUP.
  • Tutup kepala ini dililit oleh TANGKULOK atau TOMPOK dari emas. TANGKULOK ini terbuat dari kain tenunan. TOMPOK ialah hiasan bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia

BAJU ADAT WANITA ACEH :

  • Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas china.
  • Celana cekak musang dan sarung (IJA PINGGANG) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini bersulam emas.
  • Perhiasan yang dipakai : kalung disebut KULA. Ada pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat pinggang (PENDING) berwarna emas.
  • Bagian rembut ditarik ke atas membentuk sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak bunga

Tari Tradisional Provinsi Aceh 


Tari Saman Meuseukat 

Di antara beraneka ragam tarian dari pelosok Indonesia, tari saman termasuk dalam kategori seni tari yang sangat menarik. Keunikan tari saman ini terletak pada kekompakan gerakannya yang sangat menakjubkan. Para penari saman dapat bergerak serentak mengikuti irama musik yang harmonis. Gerakan-gerakan teratur itu seolah digerakkan satu tubuh, terus menari dengan kompak, mengikuti dendang lagu yang dinamis. Sungguh menarik, bukan? Tak salah jika tari saman banyak memikat hati para penikmat seni tari. Bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari mancanegara.
Sejarah Tari Saman
Mengapa tarian ini dinamakan tari Saman? Tarian ini di namakan Saman karena diciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama Syekh Saman pada sekitar abad XIV Masehi, dari dataran tinggi Gayo. Awalnya, tarian ini hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Namun, kemudian ditambahkan iringan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, serta diiringi pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah satu media dakwah.
Pada mulanya, tari saman hanya ditampilkan untuk even-even tertentu, khususnya pada saat merayakan Hari Ulang Tahun Nabi Besar Muhammad SAW atau disebut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya, tari saman ditampilkan di bawah kolong Meunasah (sejenis surau panggung). Namun seiring perkembangan zaman, tari Saman pun ikut berkembang hingga penggunaannya menjadi semakin sering dilakukan. Kini, tari saman dapat digolongkan sebagai tari hiburan/pertunjukan, karena penampilan tari tidak terikat dengan waktu, peristiwa atau upacara tertentu. Tari Saman dapat ditampilkan pada setiap kesempatan yang bersifat keramaian dan kegembiraan, seperti pesta ulang tahun, pesta pernikahan, atau perayaan-perayaan lainnya. Untuk tempatnya, tari Saman biasa dilakukan di rumah, lapangan, dan ada juga yang menggunakan panggung.
Tari Saman biasanya ditampilkan dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syekh. Penari Saman dan Syekh harus bisa bekerja sama dengan baik agar tercipta gerakan yang kompak dan harmonis.
Makna dan Fungsi
Tari Saman dijadikan sebagai media dakwah. Sebelum Saman dimulai, tampil pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat. Pemuka adat memberikan nasehat-nasehat yang berguna kepada para pemain dan penonton. Syair-syair yang di antunkan dalam tari Saman juga berisi petuah-petuah dan dakwah. Berikut contoh sepenggal syair dalam tari S aman: Reno tewa ni beras padi, manuk kedidi mulu menjadi rempulis bunge. Artinya:
Betapa indahnya padi di sawah dihembus angin yang lemah gemulai. Namun begitu, burung kedidi yang lebih dulu sebagai calon pengantin serta membawa nama yang harum. Namun dewasa ini, fungsi tarian saman menjadi bergeser. Tarian ini jadi lebih sering berfungsi sebagai media hiburan pada pesta-pesta, hajatan, dan acara-acara lain.
Nyanyian
Pada tari Saman, terdapat 5 macam nyanyian :
  1. Rengum, yaitu sebagai pembukaan atau mukaddimah dari tari Saman (yaitu setelah dilakukan sebelumnya keketar pidato pembukaan). Rengum ini adalah tiruan bunyi. Begitu berakhir langsung disambung secara bersamaan dengan kalimat yang terdapat didalamnya, antara lain berupa pujian kepada seseorang yang diumpamakan, bisa kepada benda, atau kepada tumbuh-tumbuhan.
  2. Dering, yaitu rengum yang segera diikuti oleh semua penari.
  3. Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
  4. Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
  5. Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.
Gerakan
Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman: Tepuk tangan dan tepuk dada. Diduga, ketika menyebarkan agama Islam, syeikh saman mempelajari tarian melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah Islam demi memudahkan dakwahnya. Dalam konteks kekinian, tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan. Tarian Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik, karena hanya menampilkan gerak tepuk tangan dan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo). Selain itu, ada 2 baris orang yang menyanyi sambil bertepuk tangan dan semua penari Tari Saman harus menari dengan harmonis. Dalam Tari Saman biasanya, temponya makin lama akan makin cepat supaya Tari Saman menarik.

Penari
Pada umumnya, tari Saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki. tetapi jumlahnya harus ganjil. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, tarian ini juga dimainkan oleh kaum perempuan. Pendapat Lain mengatakan tarian ini ditarikan kurang dari 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi. Namun, perkembangan di era modern menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Di sinilah peran Syeikh, ia harus mengatur gerakan dan menyanyikan syair-syair tari Saman.
Kostum atau busana khusus saman terbagi dari tiga bagian yaitu:
  • Pada kepala: bulung teleng atau tengkuluk dasar kain hitam empat persegi. Dua segi disulam dengan benang seperti baju, sunting kepies.
  • Pada badan: baju pokok/ baju kerawang (baju dasar warna hitam, disulam benang putih, hijau dan merah, bahagian pinggang disulam dengan kedawek dan kekait, baju bertangan pendek) celana dan kain sarung.
  • Pada tangan: topeng gelang, sapu tangan. Begitu pula halnya dalam penggunaan warna, menurut tradisi mengandung nilai-nilai tertentu, karena melalui warna menunjukkan identitas para pemakainya. Warna-warna tersebut mencerminkan kekompakan, kebijaksanaan, keperkasaan, keberanian dan keharmonisan.
Tari saman memang sangat menarik. Pertunjukkan tari Saman tidak hanya populer di negeri kita sendiri, namun juga populer di mancanegara seperti di Australia dan Eropa. Baru-baru ini tari saman di pertunjukkan di Australia untuk memperingati bencana besar tsunami pada 26 Desember 2006 silam. Maka dari itu, kita harus bangga dengan kesenian yang kita miliki, dan melestarikannya agar tidak punah.

Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Aceh biasanya berbicara bahasa Aceh dan Indonesia meskipun di Ibu Kota, selain bahasa Aceh dan Indonesia ada beberapa dialek yang berbeda dalam penggunaan bahasa, di wilayah barat dan selatan dialek seperti Minang sedangkan dikuala simpang di daerah Melayu. Di Aceh Tengah berbahasa Gayo sementara di Aceh Tenggara orang berdialek Alas. Di beberapa tempat lain ditemui bahasa/dialek setempat.

Musik Tradisional Provinsi Aceh 
Serune Kalee, Alat Musik Tiup Khas Tradisional Aceh 

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh merupakan alat musit khas tradisional Aceh yang mampu mengalunkan instrumen-instrumen luar biasa yang mengiringi lagu-lagu nan syahdu maupun heroik yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh sejak zaman Kerajaan-Kerajaan Aceh sampai sekarang.
Alat musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan di masa raja diraja zaman keemasan kerajaan Aceh Darussalam. Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik. Serune Kalee merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Aceh. Alat musik ini merupakan salah satu jenis serunai atau clarinet yang tersebar dalam masyarakat Melayu.

Asal-usul
Kata Serune Kalee menunjuk pada dua hal yang berbeda. Kata yang pertama, Serune menunjuk pada alat tiup tradisional Aceh yang sering dimainkan bersama rapai. Sedangkan Kalee adalah sebutan sebuah nama desa di Laweung, Kabupaten Pidie. Sehingga, Serune Kalee mempunyai arti serunai dari Kalee. Pemberian nama tersebut mungkin dikaitkan dengan pembuatan atau pemunculannya. Peralatan musik ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat Aceh, namun juga masyarakat Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lain di Sumatra Barat. Bahkan, persebaran perlengkapan ini mencapai Thailand, Srilanka, dan Malaysia. Alat musik sejenis ini juga didapati di daerah pesisir dan lain dari Provinsi Aceh, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat dengan sebutan serupa (Firdaus Burhan, ed. 1986: 81). Masing-masing daerah yang menggunakan musik jenis ini memberi berbagai macam variasi pada peralatan tersebut, sehingga bentuk dan namanya juga bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune, terdapat kesamaan dalam nuansa suara yang dimunculkan, laras nada, vibrasi, volume suara, dinamika suaranya. Peralatan ini berbentuk memanjang bulat lurus dan bulat. Bagian atas peralatan ini berbentuk kecil, kemudian membesar hingga di ujung bagian bawah. Pada tubuhnya terdapat lubang-lubang untuk jari dengan ukuran yang cukup besar. Bagian paling bawah peralatan ini membesar seperti kelopak teratai. Untuk membawa peralatan ini cukup dimasukkan ke dalam kantong yang diberi pengikat pada tampuk kain, kemudian disandang di bahu. 

Berdasarkan data yang ada, peralatan ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh. Ada sebagian yang mengatakan peralatan ini berasal dari Tiongkok (Z. H. Idris, 1993: 48-49). Terlepas dari asumsi tersebut, pada kenyataannya memang Aceh pada zaman dahulu merupakan kerajaan yang terbuka. Hal tersebut menjadikan Aceh cukup ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai wilayah di luar negeri. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh mempunyai posisi penting. Pada masa ini kebudayaan di Aceh juga berkembang dengan pesat, salah satunya adalah bidang kesenian, dengan corak Islam yang kental. Saat ini peralatan Serune Kalee masih memegang peranan penting dalam berbagai pertunjukan kesenian, dalam berbagai upacara, serta acara-acara yang lain. Permainan musik Serune Kalee menjadi hiburan bagi masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang.

Lintasan Sejarah Serunee Kalee
Abad VII M Islam sudah berkembang di Aceh, seorang ulama dari Persi, Syech Abdullah membawa alat musik yaitu "Serunee Kalee" untuk mengajak para masyarakat belajar ilmu agama islam. Selanjutnya pada abad X seorang ulama besar : Syech Abdul Kadir Zaelani dari Arab / Iraq ke Aceh untuk mendampingi "Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam" yang bernama Mahdum Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi untuk memperluas ilmu agama dan ilmu pengetahuan di Aceh dengan membawa Seni Rapa'I dan Debus asal Persia. Serunee Kalee berkembang menjadi alat untuk penyambutan dan memuliakan tamu kenegaraan yang datang ke Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Serunee Kalee masih digunakan dalam acara adat-adat pernikahan, penyambutan tamu dan berkesenian di tengah masyarakat Aceh hingga saat ini.

Serune Kalee sebagai alat primer, berperan membawa lagu yang lebih cenderung instrumentalia. Serune Kalee dimainkan dengan alunan suara yang terus-menerus dan tidak putus-putus. Suara tersebut dihasilkan dari teknik meniup dengan mengambil napas dari mulut dan hidung serta leher. Dengan suara Serune Kalee yang tajam musik akan terdengar dinamik, terkesan heroik, dan mendatangkan semangat. Gaya musikal Serune Kalee yang khas tidak akan terganggu atau mengganggu suara lain pada waktu ikut mengiringi alat tabuh semisal rapai (Z. H. Idris, 1993: 53). Selain digelar dalam berbagai pertunjukan atau sebagai pelengkap alat musik yang lain, alat musik tradisional ini juga berperan sebagai penunjang dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang berhubungan antarmanusia. Misalnya, upacara perkawinan, melepaskan nazar, penyambutan tamu, peresmian proyek, dan sebagainya (Z. H. Idris, 1993: 54). Saat ini peran Serune Kalee bukan hanya berhubungan dengan dakwah Islam, namun juga dalam berbagai kegiatan yang lain secara umum. Jenis alat musik serupa Serune Kalee juga banyak tersebar di berbagai daerah, bahkan hingga ke mancanegara.

Wujud dan bentuk peralatan ini seperti pentungan, bulat, dan lurus mulai dari batas atas (mondstuk) hingga ke bagian bawah (bell). Bagian atas peralatan ini kecil dan membesar di bagian bawahnya. Di bagian badan atau tubuh terdapat lubang-lubang sebagai tempat memainkan nada yang diinginkan. Peralatan ini mempunyai warna dasar hitam, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlalu banyak dipegang atau memang warna dasar kayu yang dibuat untuk peralatan ini berwarna hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Serune kalee yang terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune kalee ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.


Rumah Adat Provinsi Aceh 

Rumoh Aceh 


Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan cerminan dari nilai-nilai hidup yang dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.

A. Bahan-bahan
Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:
  • Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng dan lain sebagainya.
  • Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
  • Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap) dan lain sebagainya.
  • Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
  • Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru dan terkadang menggunakan tali plastik.
  • Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
  • Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
  • Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak dan sanding.
B. Tahap Pembangunan Rumoh Aceh
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan dan sebagainya. Oleh karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh adalah:
  1. Musyawarah.
  2. Pengumpulan bahan.
  3. Pengolahan bahan.
  4. Perangkaian bahan.
Tahapan paling awal untuk mendirikan Rumoh Aceh adalah melakukan musyawarah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan memberitahukan rencana pendirian rumah tersebut kepada Teungku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang harus dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan, ketenteraman dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.

Setelah mendapatkan saran-saran dari Teungku, dilanjutkan dengan pengadaan bahan. Pengadaan bahan-bahan dilakukan secara gotong royong. Kayu yang baik adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu yang lain. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terlindung dari hujan. Jika waktu pembangunan masih lama, adakalanya bahan-bahan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam air, tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak dimakan rayap.

Tahap berikutnya adalah mengolah kayu sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka dimulailah pendirian Rumoh Aceh. Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai dengan pembuatan landasan untuk memancangkan kayu. Kayu yang pertama dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan dilanjutkan dengan tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang, dilanjutkan dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah dan dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah yang diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumoh Aceh adalah finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti ragam hiasan dan sebagainya.

C. Bagian-bagian Rumoh Aceh
1. Bagian Bawah
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh.
Tempat ini juga digunakan untuk menyimpan jeungki atau penumbuk padi dan krong atau tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan diameter dan ketinggian sekitar dua meter.

2. Bagian Tengah
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang.
  • Ruang depan (seuramoe reunyeun). Ruangan ini disebut juga Seuramoe-keu (serambi depan). Disebut ruang atau serambi depan karena di sini terdapat reunyeun atau tangga untuk masuk ke rumah. Ruangan ini tidak berkamar-kamar dan pintu masuk biasanya terdapat di ujung lantai di sebelah kanan. Tapi ada pula yang membuat pintu menghadap ke halaman, dan tangganya di pinggir lantai. Dalam kehidupan sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki dan tempat anak-anak belajar mengaji. Pada saat-saat tertentu misalnya pada waktu ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini dipergunakan untuk makan bersama.
  • Ruang tengah. Ruangan ini merupakan inti dari Rumoh Aceh, oleh karenanya disebut Rumoh Inong (rumah induk). Lantai pada bagian ini lebih tinggi dari ruangan lainnya, dianggap suci dan sifatnya sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dan biasanya menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik tersebut terdapat gang (rambat) yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang.
    Fungsi Rumoh Inong adalah untuk tidur kepala keluarga dan Anjong untuk tempat tidur anak gadis. Bila anak perempuannya kawin, maka dia akan menempati Rumoh Inong sedang orang tuanya pindah ke Anjong. Bila anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke serambi atau seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau menambah/memperlebar rumahnya. Di saat ada acara perkawinan, mempelai di persandingkan di Rumoh Inong, begitu pula bila ada kematian Rumoh Inong dipergunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
  • Ruang belakang disebut seuramoe likot. Lantai seuramoe likot tingginya sama dengan seuramoe reunyeun (serambi depan) dan ruangan ini pun tidak berbilik. Fungsi ruangan ini sebagian dipergunakan untuk dapur dan tempat makan dan biasanya terletak di bagian timur ruangan. Selain itu juga dipergunakan untuk tempat berbincang-bincang bagi para wanita serta melakukan kegiatan sehari-hari seperti menenun dan menyulam.
    Namun, adakalanya dapur dipisah dan berada di bagian belakang serambi belakang. Ruangan ini disebut Rumoh dapu (dapur). Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.
3. Bagian Atas
Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

D. Ragam Hiasan
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
  1. Motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran.
  2. Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stelirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hiasan ini biasanya terdapat pada reunyeun (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap dan jendela rumah.
  3. Motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai.
  4. Motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut.
  5. Motif lainnya, seperti rantee, lidah dan lain sebagainya.

E. Nilai-nilai
Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan cerminan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religius) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.

Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka�bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitasnya juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.

Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.
Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka �pantang dan tabu� bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Pintu utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa, sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk, mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.

Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan saling menghormati sesama makhluk Tuhan dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi yang telah diberikan oleh Tuhan.

Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.

Makanan Tradisional Provinsi Aceh 

Orang Aceh paling sering duduk di warung-warung kopi, sambil menimati goreng pisang para penduduk, biasanya pria, meminum kopi Aceh yang terkenal itu. Kopi Aceh memang terkenal, bahkan sampai mancanegara. Ada orang yang sengaja ke Aceh hanya sekedar untuk meminum atau membeli kopi Aceh. Selain meminum kopi, makanan yang enak di Aceh adalah Mie Aceh, Nasi Goreng Aceh dan lain-lain. Pada zaman dahulu, bahkan ada sampai sekarang, masyarakat aceh memasak dengan sebuah tungku api besar. Wajannya juga besar. Biasanya pekerjaan tersebut dikerjakan oleh kaum perempuan. Sebuah rumah makan di Aceh biasanya mirip dengan rumah makan Padangh, apa yang dimakan, itu yang dibayar, namun semua makanan disajikan semuanya diatas meja. Dari sekian banyak jenis makanan di menu, yang paling favorit dan khas dari restaurant adalah Ayam Tangkap nya. Ayam goreng yang sangat kering yang digoreng kering bersama cabe hijau India dan daun-daun bambu, daun jeruk, daun temuruy, dan daunnya bisa dimakan.. krekessss....krekes.... yummy.... yummy...Karena sangat kering, ayam tangkap tahan beberapa hari, sehingga orang-orang banyak datang ke restauran untuk membelinya sebagai oleh-oleh khas Aceh dalam box khusus. Makanan ayam tangkap ini sangat lezat untuk dimakan dengan sepiring nasi. Biasanya dimakan untuk makan siang atau makan malam. Ayam tangkap merupakan makanan Aceh yang terkenal lainnya adalah Gulai Kari Aceh yang encer, agak asam sedikit dan potongan dagingnya agak besar dan sedikit berlemak. Kemudian ada Asam Udang, campuran cacahan udang yang diberi asam, rawit dan bawang merah, rasanya agak sedikit asam, segar dan yang jelas enak sekali.

Selain itu Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.


Sumber : tanohaceh.com, melayuonline.com, ensiklopedi-budaya-indonesia.blogspot.com, carapedia.com, acehprov.go.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Komennya, Ya ..??