Rabu, 10 September 2014

KEBUDAYAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Sekilas Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 
Suku Bangsa, Budaya, dan Agama 

Laju pertumbuhan penduduk di DIY antara 2003-2007 sebanyak 135.915 jiwa atau kenaikan rata-rata pertahun sebesar 1,1%. Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk di DIY menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari 72,4 tahun pada tahun 2002 menjadi 72,9 tahun pada tahun 2005. Ditinjau dari sisi distribusi penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin meningkat pada penduduk usia di atas 60 tahun. Proporsi distribusi peduduk berdasarkan usia produktif memiliki akibat pada sektor tenaga kerja. Angkatan kerja di DIY pada 2010 sebesar 71,41%[23]. Di sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar adalah sektor pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Sektor yang potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan dan industri terutama industri kecil menengah serta kerajinan. Pengangguran di DIY menjadi problematika sosial yang cukup serius karena karakter pengangguran DIY menyangkut sebagian tenaga-tenaga profesional dengan tingkat pendidikan tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah kependudukan dan ketenagakerjaan adalah dengan mengadakan program transmigrasi. Pelaksanaan pemberangkatan transmigran asal DIY sampai pada tahun 2008 melalui program transmigrasi sejumlah 76.495 Kk atau 274.926 Jiwa. Ditinjau dari pola transmigrasi sudah mencerminkan partisipasi dan keswadayaan masyarakat, melalui Transmigrasi Umum (TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Untuk pensebarannya sudah mencakup hampir seluruh Provinsi. Rasio jumlah tansmigran swakarsa mandiri pada 2010 mencapai 20% dari total transmigran yang diberangkatkan.
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat. DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua diantaranya yaitu museum Ullen Sentalu dan museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional. Pada 2010, persentase benda cagar budaya tidak bergeak dalam kategori baik sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum mencapai 6,42%
Penduduk DIY mayoritas beragama Islam yaitu sebesar 90,96%, selebihnya beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Sarana ibadah terus mengalami perkembangan, pada tahun 2007 terdiri dari 6214 masjid, 3413 langgar, 1877 musholla, 218 gereja, 139 kapel, 25 kuil/pura dan 24 vihara/klenteng. Jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 sebanyak 260, dengan 260 kyai dan 2.694 ustadz serta 38.103 santri. Sedangkan jumlah madrasah baik negeri maupun swasta terdiri dari 148 madrasah ibtidaiyah, 84 madrasah tsanawiyah dan 35 madrasah aliyah. Aktivitas keagamaan juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2007 terdapat 3.064 jamaah haji.
Suku Jawa umumnya menganut agama Islam, sebagian menganut agama Kristen dan Katolik, dan ada pula yang menganut Hindu dan Buddha. Sebagian orang Jawa juga masih memegang teguh kepercayaan Kejawen. Agama Islam sangatlah kuat dalam memberi pengaruh pada Suku Madura. Suku Osing umumnya beragama Islam. Sedangkan Suku Tengger menganut agama Hindu. Orang Tionghoa umumnya menganut Konghucu, meski ada pula sebagian yang menganut Buddha, Kristen, dan Katolik; bahkan Masjid Cheng Ho di Surabaya dikelola oleh orang Tionghoa dan memiliki arsitektur layaknya kelenteng.
Yogyakarta telah lama dikenal sebagai kota budaya. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memegang peranan penting sebagai pusat dan sumber kebudayaan yang dimiliki oleh kota Yogyakarta. Namun predikat sebagai kota budaya bukan tidak mungkin sebentar lagi akan dicopot dari Yogyakarta. Kebudayaan yang diagung-agungkan dan menjadi trade mark Yogyakarta ternyata lambat laun mulai tergeser akibat arus globalisasi yang semakin kencang berhembus. Dalam peta Pariwisata Indonesia, Yogyakarta termasuk salah satu favorit tujuan para wisatawan (baik Mancanegara maupun domestik). Setiap musim liburan tiba, kita dapati jalan-jalan di kota kita ini terasa semakin sesak dengan wisatawan yang berkunjung. Salah satu yang diunggulkan Yogyakarta sebagai ujung tombak pariwisata adalah wisata budaya. Menurut E.B Taylor (1982), kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang terkandung didalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
Pemerintah Propinsi DIY seharusnya sadar betapa pentingnya melestarikan tradisi dan kebudayaan asli daerah. Pelestarian budaya dan tradisi Jogja bukanlah semata-mata tanggung jawab Keraton, namun juga tanggung jawab kita semua sebagai warga Jogja yang harus didukung sepenuhnya oleh Pemprop DIY. Pelestarian sebuah kebudayaan adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus, bukannya terputus. Mungkin ada baiknya apabila pemerintah membangun semacam pusat kebudayaan, yang secara rutin menampilkan budaya-budaya asli Yogyakarta, seperti tarian, kethoprak, wayang orang dan wayang kulit. Tidak hanya cukup mendata grup-grup kesenian tradisional saja, tetapi juga memberi pembinaan yang serius terhadap kebudayaan-kebudayaan Yogyakarta yang sudah diambang kepunahan, seperti nggamel dan macapatan. Semoga Yogyakarta tetap diingat sebagai kota yang berbudaya.
Dari segi tradisi, telah lama kita tahu bahwa THR Yogyakarta telah menjadi Purawisata yang mengandalkan musik dangdut sebagai acara pokoknya, yang mana dangdut jelas-jelas bukan merupakan budaya asli dari Yogyakarta. Kadang muncul keinginan untuk dapat menyaksikan pertunjukan kethoprak atau wayang orang seperti yang secara rutin masih dipentaskan di taman Sriwedari Solo. Bisa dipastikan dengan keadaan seperti ini semakin banyak generasi muda asli Yogyakarta yang buta akan kesenian wayang kulit, kethoprak, wayang orang, dan tari-tarian asli peninggalan kebudayaan Yogyakarta, dikarenakan tidak ada lagi tempat yang secara kontinyu menyajikan kesenian-kesenian tradisional tersebut. Tradisi Sekaten yang merupakan tradisi peninggalan leluhur juga menuai kontroversi setiap perayaannya. Sekaten dituding sudah bukan lagi milik rakyat, karena kental dengan aroma komersialisme yang mengalahkan nuansa tradisinya itu sendiri. Sungguh kasihan generasi penerus di Jogjakarta. Suatu saat mungkin mereka hanya bisa mendapatkan informasi tentang sejarah tradisi dan kebudayaan kota mereka sendiri melalui buku pelajaran.


Sumber: wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Komennya, Ya ..??